Senin, 18 November 2013

Laporan Feature

Tulisan feature

Suatu Tradisi yang Mempererat Persahabatan

Hidup akan terasa hampa jika kita hidup dalam kesendirian. Bermula dari kata itu, membuatku menjadi orang yang terbuka untuk berteman dengan siapapun. Aku memiliki teman-teman yang bisa dibilang akrab bahkan sudah dianggap seperti saudara sendiri. Mereka berharga buatku, susah senang telah kami lalui bersama. Walaupun kami baru saja bertemu dan berkenalan ketika kami memulai perkuliahan pertama kali, tetapi itu bukan masalah buat kami. Awalnya canggung, bahkan bisa dibilang “SKSD” istilah jaman sekarang yang artinya Sok Kenal Sok Dekat.
Hari demi hari, waktu demi waktu kami lalui bersama. Tiap keluh kesah bahkan kebahagiaan kami lalui bersama. Karena kebersamaan itu, kami menjadi semakin dekat. Sebut saja chacha, teman paling dekat denganku, walaupun tempat tinggal kami lumayan berjauhan namun kami selalu berangkat dan pulang bersama. Sedangkan temanku yang lain Diana, Onet, dan Agnes bertempat tinggal sangat berjauhan dari kami. Awalnya tidak hanya kami berlima, ada teman-teman yang lain. Tapi entah kenapa mereka menjauh dari kami, aku hanya berpikir mungkin mereka punya kesibukan masing-masing yang lebih penting. Berlima pun sudah cukup ramai buat kami, kost-an Boni namanya menjadi basecamp kami diwaktu senggang.
Hingga suatu hari, tepat tanggal 6 Januari, teman kami ada yang berulang tahun. Chacha, dia berulang tahun yang ke-19. Dan kami pun merencanakan sesuatu di hari ulang tahunnya. “Ceplokin” mungkin kata itu sudah tidak asing lagi buat kita, itulah rencana kami. Memang menjijikkan bahkan sebagian orang menganggap itu hal yang tidak wajar dan kurang kerjaan, tapi buat kami itulah hal yang menyenangkan ketika merayakan hari ulang tahun diantara kami. Tepat dihari ulang tahunnya tak ada yang spesial dari kami, tetapi itu adalah salah satu rencana kami. Perhalan tapi pasti kami buat acara ini sukses. Sebisa mungkin kami sembunyikan rencana itu, agar dia tidak kabur dan berusaha menghindar dari kami. Pada waktu itu kami tidak hanya berlima, tetapi teman-teman yang lain pun ikut berkumpul bersama. Disaat itu, chacha meminta kami datang ke-rumahnya untuk merayakan ulang tahun nya secara sederhana. Dan kami pun menyetujuinya, kesempatan emas dalam hatiku. Sepulang kuliah, kami pun pergi ke rumahnya yang berada di perumahan Griya Kencana, Cilebut. Dengan berkereta dan menaiki angkot kita menuju perumahannya. Rumahnya pedalaman dan memang jauh untuk dijangkau dengan berjalan kaki ataupun angkot, karena tak ada angkot yang menuju perumahannya, tetapi mengapa keluarganya mau bertempat tinggal disana pikirku. Sudahlah itu sama sekali bukan urusanku hingga aku tersadar dari lamunanku.
Hujan pun turun ketika kami masih berada diangkot, hawa dingin pun mulai terasa. Hal itu bukan alasan untuk kami membatalkan rencana kami. Aku dan Diana saling berpandangan untuk meyakinkan rencana kami harus tetap berjalan. Hanya dengan bermain mata, aku dan Diana sudah paham maksud dari main mata itu. Setibanya di rumah Chacha, kami disambut hangat oleh keluarganya yang memang sudah menunggu dan menyiapkan berbagai hidangan sederhana. Tidak lupa berucap terima kasih dan berdoa, lalu kami menikmati berbagai hidangan yang telah disediakan.
Waktu pun terus berjalan, matahari tidak menampakkan dirinya, langitpun terlihat bersedih karena hujan rintik masih terus saja turun. Hujan rintik bukanlah hambatan untuk kami. Setelah selesai menikmati hidangan, kami pun berfoto bahkan bercanda, dan mengobrol hangat. Aku mulai memandang Diana, berharap dia masih mengerti maksudnya. Isyarat mata mengartikan “ready ??? its show time”, lalu aku beralasan untuk keluar dan meminta ditemani oleh Diana. Diana sangat mengerti maksud aku mengajaknya keluar. Tetapi sebelumnya, aku dan Diana sudah bekerja sama dengan adiknya Chacha yang bernama Pipit. Aku sudah menjelaskan rencana kami, dan dia setuju dengan itu. Mencari warung di daerah yang belum pernah kami kunjungi lumayan sulit ternyata. Tak lama kemudian kami pun menemukan warung di ujung jalan. Disanalah kami membeli keperluan untuk bahan “Ceplokan” Chacha, berupa telur, terigu, dan kecap. Selesai acara membeli bahan, sekarang tiba waktunya membuat bahan tersebut menjadi ramuan yang wooww sungguh mantab sekali. Niat kami tidak akan berjalan lancar tanpa restu dari orang tua Chacha, akhirnya kami memberanikan diri untuk izin mengerjai anaknya itu. Bergembiralah, bersorak riang dalam hati karena ternyata orang tua Chacha menyetujuinya.
Setelah itu aku dan Diana bergerak cepat membuat bahan tersebut menjadi ramuan mantab. Peralatan seperti ember dan kayu seadanya kami kumpulkan. Mulailah dengan beberapa butir telur, terigu masuk kedalam ember. Kemudian disusul dengan air selokan yang kami dapat disekitar rumah dan sedikit sampah-sampah rumput kering. Mencium aromanya pun sudah membuat mual, sungguh bau dan memang sangat menjijikkan. “Show Time”, aku pun kedalam dan memanggil teman-teman untuk keluar dengan alasan berfoto bersama. Permainan mata diantara aku, Diana, dan Pipit tanda “Show Time”. Langit dan hujan serasa ingin ikut bersama kami, rintik hujan membuat suasana semakin mendukung kami. Tanpa menunggu lama, Pipit telah siap dengan ember berisi ramuan mantab, dan dengan sekejap byuuurrrr kenalah Chacha berlumuran dengan ramuan itu. Tak kalah telur pun dilempar kearahnya, terigu ditaburi dan tak lupa kecap pun ikut berpartisipasi.
woooww sungguh bau amat menyengat sehingga kami menjauh. Aku dan Diana lari sekencang mungkin karena Chacha mengejar kami semua. Ooohhh kenapa harus aku dan Diana yang dia kejar, sedangkan yang lain tidak? Oohh tidak, aku dan Diana lari sekencang mungkin. Tidak tanggung kami berlari mengelilingi perumahan diwaktu hujan turun, tanpa alas kaki kami terus berlari berharap tidak terkena ramuan yang super bau itu. Aku dan Diana berpencar, saling berpandangan untuk saling melindungi dari Chacha karena dia sangat bau. Sekiranya aman, kami berlari menuju rumahnya karena kami pikir ketika didalam rumah, Chacha tidak akan mungkin melumuri kami dengan tubuhnya yang bau itu. Tetapi perkiraan kami salah, Chacha tetap melumuri kami hingga bau itu pun menempel dibaju kami yang basah karena hujan. Parahnya dalam hatiku, aku tidak membawa pakaian ganti. Chacha terus memeluk dan membuatku bau juga. Akhirnya aku memutuskan untuk keluar dan menyiramnya dengan air, Diana, Agnes dan Onet pun ikut keluar. Alhasil aku, Chacha, Diana, Agnes, Pipit, bahkan adik terbungsu Chacha (Citra) ikut bersama kami mandi ditengah hujan.
Bau amis yang sangat menyengat ditubuh kami, tidak menghilangkan kesenangan kami semua. Masalah pakaian ganti, aahh itu urusan nanti pikirku. Tak lupa kami berfoto untuk mengabadikannya.
Itulah tradisi diantara kami, selama berjalan ini belum ada yang bisa lolos dari ramuan yang amat bau itu. Berawal dari Chacha, Diana, Onet dan yang baru-baru Agnes sukses terkena ramuan super amis itu. Dan dari hati paling dalam, aku berharap tidak kena ramuan super amis itu dibulan Desember.

Persahabatan sangat indah jika kita saling memahami dan melengkapi. Saling menyayangi diantara kita itu sudah pasti. Kami telah bersepakat bahwa tradisi “ceplokin” diantara kami akan tetap berjalan meskipun kami sudah berbeda kelas. Karena dengan tradisi itu, kami tetap bisa saling menjaga persahabatan agar tidak putus begitu saja.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar